A. LETAK GEOGRAFIS
Makam Sunan Drajad
terletak di Desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur.
B. SEJARAH
B. SEJARAH
(1) Sejarah Pembangunan
Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat
sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk
melestarikan budaya serta benda- benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat,
keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam,
Pemerintah Kabupaten Lumajang mendirikan Museum daerah Sunan Drajat di sebeah timur Makam. Musium ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1 Maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, SH untuk menyelamatkan dan
melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi dana APBD I yaitu pada
tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangu nan Gapura Paduraksa
senilai Rp. 98 juta dan anggaran Rp. 100 juta 202 ribu untuk pembangunan
kembali Masjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993.
(2) Sejarah Penemuan Kembali
Menurut
penjaga makam Sunan Drajad, sejak dahulu makam Sunan Drajad itu tidak pernah
ditemukan, tetapi sejak Sunan Drajad meninggal dan dimakamkan di tempat
tersebut, makam Sunan Drajad sudah menjadi tempat ziarah bagi para pengikutnya
dan masyarakat sekitar.
(3) Sejarah Restorasi/Pemugaran
(3) Sejarah Restorasi/Pemugaran
Pada
tahun 1993 sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam
Sunan Drajat dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi
paseban, bale rante serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131
juta yang diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.
(4) Sejarah Wali/Sunan Drajad
4.1. Masa Kecil dan Remaja Sunan Drajat
(4) Sejarah Wali/Sunan Drajad
4.1. Masa Kecil dan Remaja Sunan Drajat
Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim,
Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah
kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam,
Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan
Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng
Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan
Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri
Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan
Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di
kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan
ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke
Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk
nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam
ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan
berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan
talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah
tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh,
persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut
baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya,
yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian
menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di
Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren
tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang
menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang
tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak,
ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat
itu dinamai Desa Drajat.
4.2. Masa Dewasa Sunan Drajat
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syari
fuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah
pelajaran Islam dikuasai, beliau me ngambil tempat di Desa Drajat wilayah
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar
abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali
keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa
sosial, sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu
mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran
Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk
mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi
lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya
yang mempu nyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberha silannya menyebarkan agama Islam dan
usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi
warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
4.3. Cara Sunan Drajat Menyebarkan Islam
4.3. Cara Sunan Drajat Menyebarkan Islam
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan
Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman,
dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat
tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam
kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem
Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat
menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat termasuk dayung perahu yang
dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini
dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan
kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling
menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana
catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan
yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep
dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan
ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung
di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional.
Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending.
Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional,
sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah:
Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren;
paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya:
berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan
pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan
masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari.
Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon,
merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga
berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan
salat magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,”
katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan
mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali
yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di
kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam
suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya
mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka,
dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi
sumur abadi.
Pernikahan Sunan Drajat
Pernikahan Sunan Drajat
Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat
disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika
menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati
Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465
Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah,
putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim
sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal,
Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan
hingga kini, memang ada tradisi ”saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon
diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia
pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada
juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi
kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di
Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang
diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan
bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga
putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau
Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula
kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di
Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa
meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di
Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para
Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu
diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika
benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah
masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang
menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan
beliau di bidang kesenian.
4.5. Filosofi Sunan Drajat
4.5. Filosofi Sunan Drajat
Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan
kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek
Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut
sebagai berikut :
Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain);
Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada);
Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan);
Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu);
Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mem peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur);
Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu); dan
Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita).
C. ARSITEKTURAL
Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain);
Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada);
Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan);
Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu);
Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mem peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur);
Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu); dan
Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita).
C. ARSITEKTURAL
(1) Pola, Bentuk, dan Struktur Bangunan
Akulturasi agama Hindu
dan Budha ke agama Islam sangat terlihat dari bangunannya yang
bertingkat-tingkat, yaitu dari rendah ke tinggi. Di jalan-jalan sebelum makam
juga terdapat struktur-struktur yang melambangkan animisme dan dinamisme.
Setelah pintu masuk kawasan makam, banyak makam-makam kuno berasitektur Hindu
disekitar pintu masuk, dan disekitar makam Sunan Drajad, terdapat makam-makam
berasitektur Islam yang merupakan makam dari keluarga dan para pengikut dari
Sunan Drajad. Makam Sunan Drajad sendiri kondisinya tertutup, dikarenakan permintaan Sunan Drajad sendiri yang
menginginkannya.
Setelah makam, terdapat
juga museum Sunan Drajad, yang disampingnya terdapat bayang gambang. Bayang
gambang adalah tempat musyawarah para sunan untuk mencetuskan hal-hal yang
penting secara berpindah dan untuk beristirahat serta mengaji para sahabat dan
santri Sunan Drajad pada abad XVI. Sebelum dipindah ke kompleks Sunan Drajad,
bayang gambang ini terletak di depan Masjid desa Kemanten kecamatan Paciran
kabupaten Lamongan.
Komentar